Persepsi
Jepang Terhadap Anime
Anime merupakan produk unggulan industri film di Jepang.
Jepang begitu gencar mengenalkan budayanya terhadap dunia. Sebagai bukti,
mereka memproduksi anime dengan menambahkan unsur budaya mereka didalamnya.
Jepang menggunakannya sebagai barang dagang utama dan menjualnya ke
negara-negara lain. Hal ini sangat membantu perekonomian Jepang dan secara
tidak langsung mereka juga mengenalkan budaya mereka kepada dunia. Selain itu
banyak anime yang diadaptasi menjadi sebuah game, novel maupun komik.
Unsur budaya seperti cara berpakaian, perayaan hari-hari
penting, tata krama bahkan budaya makan terdapat dalam anime yang mereka
produksi. Teknologi yang canggih memungkinkan Negeri Sakura ini membuat anime
dengan artwork yang bagus. Banyak permintaan dari negara-negara lain terhadap
anime.
Jepang merupakan penyumbang budaya terbesar di Indonesia, hal
ini terbukti dari tingginya permintaan terhadap manga (komik khas Jepang) dan
anime. Tidak sedikit pula orang Indonesia yang terobsesi dengan si anime ini.
Mereka menyebut onsesi tersebut dengan istilah ‘otaku’. Di Indonesia otaku
dianggap sebagai julukan yang wajar bagi para pecinta bentuk visual dari manga,
anime, game dan cosplay. Dalam hal ini makna otaku tidak dikonotasikan sebagai
sebuah hal yang negatif atau menyimpang.
Namun, berbeda dengan di Jepang. Disana mereka menyebut otaku
sebagai sampah masyarakat. Bagaimana tidak, orang yang dianggap otaku ini
adalah orang yang tidak mau meninggalkan rumah, tertutup dalam hubungan sosial
dan mereka hanya berbicara tentang apa yang mereka suka. Dan uniknya, di negara
selain Jepang, julukan otaku menjadi sebuah kebanggan bagi seorang yang
menyukai sesuatu yang berbau Jepang.
Tidak diketahui berapa banyak otaku yang ada saat ini. Anime menjadi
penyumbang devisa yang besar bagi Jepang. Selain itu, dunia mengenal budaya
mereka dengan baik. Namun, di Jepang sendiri anime menjadi sebuah dilema.
Karena menyebabkan sampah masyarakat terus bertambah.